Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Suhail bin Amr
Bersama Pemateri :
Ustadz Fariq Gasim Anuz
Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Suhail bin Amr adalah kajian tematik yang disampaikan oleh Ustadz Fariq Gasim Anuz Hafidzahullah pada Ahad, 22 Jumadil Awal 1443 H / 26 Desember 2021 M.
Pelajaran dan Hikmah dari Kisah Suhail bin Amr
Suhail bin Amr Radhiyallahu Ta’ala ‘Anhu adalah tokoh dari penduduk Mekah dari orang-orang Quraisy. Sebelum masuk Islam, di tahun ke-8 Hijriyah beliau memusuhi Islam dan kaum muslimin selama 21 tahun lamanya. Seorang yang ahli dalam berpidato dan orator ulung. Suhail memiliki tiga orang anak yang ketiga-tiganya masuk Islam sejak awal dakwah. Rata-rata anak-anaknya usia remaja. Ada yang bernama Abdullah, Abu Jandal dan Sahlah.
Abdullah sebagai seorang anak di awal mulanya bingung untuk menyampaikan kepada ayahnya bahwa dia hendak masuk Islam menyelisihi keyakinan orang tuanya. Sempat meminta pendapat dengan orang yang lebih tua dari orang musyrik. Orang yang lebih tua itu memahami sepertinya anak itu ingin masuk Islam.
Orang yang lebih senior tadi mengatakan: “Kalau Anda mengikuti keyakinan orang tua Anda, berarti Anda teman saya, tetapi saya tidak bangga/suka kepada Anda (karena menyelisihi apa yang diyakini). Tapi kalau Anda mengikuti keyakinan Anda, Anda adalah musuh saya, tapi saya hormat dan salut. Saya sendiri tidak bisa memberikan jawaban kepada permasalahan Anda ini.”
Abdullah mengatakan: “Sudah cukup paman, itu sudah memberi jawaban bagi saya.” Akhirnya dia pulang dan menyatakan keislaman di hadapan ayahnya. Sempat bertengkar dan akhirnya diusir. Dia rela walaupun harus menderita. Sampai beliau pun hijrah ke Habasyah. Kemudian setelah mendengar penduduk Mekah beritanya masuk Islam (padahal tidak) kemudian mereka datang lagi ke Mekah dan disiksa kembali. Termasuk Abdullah ini disiksa oleh ayahnya. Karena mungkin ayahnya semakin malu dengan ucapan-ucapan orang diluar bahwa anaknya sendiri masuk Islam.
Abdullah disiksa dengan dikurung dalam rumah dan dipaksa untuk murtad. Si anak ini terpaksa mengatakan ucapan-ucapan kufur tetapi hatinya mantap dengan keimanan. Akhirnya dia menyembunyikan keimanannya. Hal ini diperbolehkan, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah memberikan keringanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman, dia mendapat kemurkaan Allah. Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa). Tapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat adzab yang besar.” (QS. An-Nahl[16]: 106)
Batasannya disini jangan kita mempermudah-mudah dengan alasan “darurat” lalu akhirnya keluar ucapan-ucapan kufur dan maksiat untuk kemaslahatan duniawi, untuk langgengnya jabatan, untuk mendapatkan materi dan lain sebagainya kita rela untuk menjual aqidah dengan ucapan-ucapan kekufuran. Jangan demikian. Tapi kalau memang benar-benar terpaksa, diancam untuk dibunuh dan lain sebagainya, maka itu ada perkecualian.
Ini penting juga bagi mereka-mereka yang terkadang menduduki suatu jabatan terkadang mengucapkan ucapan-ucapan yang membuat murka Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hendaklah ini diperhatikan. Ada pepatah kata-kata hikmah dalam bahasa Arab:
إذا عجزتم أنت قول الحق فلا تقل الباطل
“Kalau kalian tidak mampu untuk mengucapkan yang haq, maka janganlah mengucapkan ucapan yang batil.”
Abdullah bin Suhail yang saat itu mungkin usianya sekitar 17 tahun bersabar sampai datang masanya Perang Badar. Ketika usianya sudah 27 tahun dia dipaksa oleh ayahnya mengikuti Perang Badar untuk membunuh kaum muslimin.
Pada saat itu akhirnya Abdullah kabur dan bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berperang dengan kaum musyrikin yang di dalamnya ada ayah Abdullah sendiri. Dia tidak bisa menyembunyikan keimanannya pada saat itu untuk berperang melawan kaum muslimin. Dia disambut gembira oleh kaum muslimin dan ikut berperang akhirnya kaum muslimin mendapatkan kemenangan. Setelah itu Abdullah pun hijrah tinggal di Madinah.
Ini juga pelajaran bahwa Abdullah ini masyaAllah imannya kuat luar biasa. Dia tidak terpengaruh dengan ujian, goncangan dan cobaan. Itu tidak menjadikan dia benar-benar murtad, tapi dia tetap istiqamah. Sebagian manusia ada orang yang imannya lemah sehingga kalau diuji dengan satu ujian maka dia menjadi murtad. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada yang beribadah kepada Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebaikan maka dia merasa puasa, dan jika dia ditimpa oleh suatu cobaan dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj[22]: 11)
Sebab turunnya ayat ini ada orang-orang Arab Badui yang datang ke Madinah untuk masuk Islam. Kalau mendapatkan kebaikan seperti dirinya sehat, hewan ternaknya kuat/banyak, dia mempunyai anak, punya harta, maka dia mengatakan Islam bagus. Tapi ketika dia sakit, bangkrut, maka dia tidak suka dengan Islam. Adapun Abdullah tidak demikian, Alhamdulillah imannya mantab.
Bagaimana kajian lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/51231-pelajaran-dan-hikmah-dari-kisah-suhail-bin-amr/